Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu wilayah yang kaya akan potensi peternakan sapi di Indonesia. Tiga pulau utama—Timor, Sumba, dan Flores—memiliki karakteristik unik dalam pengembangan peternakan sapi. Dengan segala tantangan yang ada, masing-masing pulau berkontribusi besar dalam memenuhi kebutuhan daging nasional. Artikel ini akan mengupas lebih dalam tentang jenis sapi, sistem pemeliharaan, serta tantangan dan peluang bisnis peternakan sapi di ketiga pulau tersebut.
1. Pulau Timor: Sapi Bali dan Tantangan Kualitas Genetik
Pulau Timor dikenal sebagai rumah bagi Sapi Bali, jenis sapi lokal yang terkenal dengan daya tahan tinggi terhadap iklim kering. Sapi Bali memiliki produktivitas daging yang cukup tinggi dan mudah beradaptasi dengan lingkungan di Timor. Selain Sapi Bali, beberapa peternak di Timor juga mengembangkan Sapi Persilangan Ongole-Bali untuk mendapatkan sapi dengan ukuran tubuh lebih besar.
Sebagian besar peternak di Timor masih mengandalkan kawin alami untuk pengembangbiakan sapi. Namun, sistem kawin alami ini sering kali menyebabkan inbreeding atau perkawinan sedarah, yang berdampak pada penurunan kualitas genetik sapi. Akibatnya, sapi di Timor cenderung memiliki tubuh lebih kecil dan daya tahan tubuh yang berkurang.
Penggembalaan di Pulau Timor dilakukan dalam dua cara: ada yang melepas sapi di padang pada siang hari dan mengandangkannya malam hari, serta ada pula yang membiarkan sapi bebas di padang penggembalaan sepanjang waktu. Setelah sapi mencapai usia dewasa, mereka dijual di pasar hewan dengan sistem taksiran, di mana pedagang menentukan harga berdasarkan ukuran dan kondisi tubuh sapi.
Distribusi sapi dari Pulau Timor ke luar pulau dilakukan melalui Pelabuhan Tenau di Kupang. Proses pengiriman ini menggunakan kapal ternak tol laut atau kapal kargo, dengan pengawalan khusus oleh kleder (pengawal sapi) untuk memastikan keselamatan selama perjalanan.
2. Pulau Sumba: Sapi Sumba Ongole dan Sistem Penggembalaan Penuh
Pulau Sumba merupakan habitat bagi Sapi Sumba Ongole (SO), jenis sapi berukuran besar yang tahan terhadap kondisi kering. Sapi Sumba Ongole memiliki produktivitas daging yang baik dan sangat cocok untuk wilayah kering seperti Sumba. Selain itu, ada juga Sapi Persilangan Ongole-Bali yang dikembangkan untuk menghasilkan sapi dengan ukuran tubuh yang lebih besar.
Di Sumba, sebagian besar peternak masih menggunakan kawin alami sebagai metode pengembangbiakan, meskipun ini memiliki risiko inbreeding yang dapat menurunkan kualitas genetik sapi. Sistem penggembalaan di Sumba didominasi oleh penggembalaan penuh, di mana sapi dibiarkan bebas di padang penggembalaan luas sepanjang waktu. Sistem ini cocok dengan lahan terbuka dan padang rumput alami yang melimpah di Sumba, memungkinkan sapi bergerak bebas dan mengakses pakan alami.
Sapi jantan dewasa yang siap jual biasanya dijual di pasar hewan lokal dengan sistem taksiran, di mana pedagang menilai harga sapi berdasarkan fisiknya. Pengiriman sapi dari Pulau Sumba ke luar pulau dilakukan melalui Pelabuhan Waingapu. Sapi-sapi ini diangkut menggunakan kapal ternak tol laut atau kapal kargo, dengan kleder yang bertugas memastikan sapi tetap aman selama perjalanan.
3. Pulau Flores: Sapi Bali dengan Pemeliharaan Sederhana
Pulau Flores juga mengandalkan Sapi Bali sebagai jenis utama yang dipelihara, dengan tambahan beberapa persilangan antara Ongole dan Bali untuk meningkatkan ukuran tubuh sapi. Dengan iklim yang cenderung kering, Sapi Bali dan persilangannya cocok untuk wilayah ini karena daya tahannya yang tinggi.
Metode pengembangbiakan di Flores juga didominasi oleh kawin alami. Meskipun praktis, metode ini memiliki risiko inbreeding yang serupa dengan di pulau lainnya. Sistem penggembalaan di Flores juga terbagi menjadi dua, yaitu penggembalaan siang hari di padang rumput dengan kandang malam hari, serta penggembalaan penuh di mana sapi dibiarkan bebas di padang sepanjang waktu.
Pengiriman sapi dari Pulau Flores ke luar pulau dilakukan melalui Pelabuhan Maumere. Sapi-sapi ini diangkut ke pulau lain menggunakan kapal ternak tol laut atau kapal kargo, yang diawasi oleh kleder untuk menjaga keselamatan sapi selama pengiriman.
Peternakan sapi di ketiga pulau ini menghadapi tantangan serupa, terutama dalam hal keterbatasan pakan yang hanya mengandalkan rumput hijauan dan limbah pertanian. Hal ini membuat pertumbuhan bobot sapi relatif lebih lambat dibandingkan wilayah lain yang memiliki pakan berkualitas tinggi. Selain itu, penurunan kualitas genetik akibat inbreeding masih menjadi masalah yang perlu diatasi.
Meskipun demikian, permintaan daging sapi di Indonesia terus meningkat, membuka peluang besar bagi peternakan sapi di NTT untuk menjadi pemasok utama.
Dengan memahami karakteristik peternakan di masing-masing pulau, artikel ini memberikan gambaran menyeluruh tentang tantangan dan peluang emas peternakan sapi di NTT.
Bagi yang ingin belajar lebih dalam tentang bisnis peternakan sapi, Sapibagus menawarkan pelatihan bisnis sapi yang lengkap, mulai dari pemilihan bibit unggul, pengelolaan pakan, strategi pemasaran, hingga manajemen bisnis yang efektif. Untuk informasi lebih lanjut silakan hubungi kami melalui WhatsApp atau bisa langsung memesan melalui Shopee dan Tokopedia.